Rabu, 27 Oktober 2010

Transformasi Peran Perempuan Dalam Gereja

Kurangnya penghargaan dan penerimaan pendeta perempuan, ataupun majelis perempuan dalam gereja GBKP sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya Karo yang sangat patriarkal. Salah satu unsur dalam budaya tersebut yang juga turut mempengaruhi gereja adalah penekanan peran perempuan pada peran biologisnya. Budaya Karo terlihat lebih membutuhkan perempuan untuk melahirkan anak daripada perannya dalam gereja dan masyarakat. Hal ini kemudian diadopsi oleh gereja GBKP. Hal ini terlihat ketika sinode GBKP mempermasalahkan penerimaan pendeta perempuan berdasarkan alasan fisik dan kemampuan biologis. Selain penekanan unsur biologis dalam budaya Karo, kecemasan sinode dan jemaat terhadap terjadinya konflik peran dalam diri seorang perempuan juga turut mengurangi kepercayaan dan penerimaan akan kemampuan seorang pendeta perempuan. Kecemasan seperti itu memang wajar, tetapi kecemasan itu akhirnya menindas dan mengecilkan peran dan kemampuan seorang pendeta ataupun majelis perempuan. Akibatnya adalah pendeta atau majelis perempuan hanya diberi kedudukan yang rendah dalam gereja. Kedudukan yang rendah ternyata membuat kewajiban pendeta atau majelis perempuan semakin banyak dan hak mereka semakin sedikit.
                 Anne Homes mengungkapkan bahwa salah satu alasan para perempuan memilih bidang karir daripada menjadi isteri, ibu, atau mengurus rumah tangga adalah domestikasi peran sebagai isteri, ibu, atau pengurus urusan rumah tangga membatasi kaum perempuan. Menurut saya pendapat tersebut ada benarnya ketika saya mencermati peningkatan minat perempuan Karo dalam hal karir, khususnya menjadi pendeta. Salah satu buktinya adalah jumlah perempuan yang mendominasi dalam hal pendaftaran dan penerimaan mahasiswa teologi di GBKP. Namun, ternyata persoalannya tidak semudah yang dibayangkan oleh perempuan. Ketika mereka memasuki dunia karir dan menjadi pendeta dalam gereja ternyata mereka juga mendapat perlakuan dan peran yang sama dari gereja, yaitu domestifikasi yang membatasi mereka. Masalahnya adalah apakah mereka akan bertahan dalam keadaan seperti itu, kembali ke domestifikasi rumah tangga, ataukah melakukan transformasi?
                 Cara terbaik mengatasi persoalan diatas adalah dengan melakukan transformasi peran perempuan dan laki-laki dalam gereja. Transformasi ini tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa dan dalam waktu yang singkat, namun butuh persiapan dan rencana yang matang. Transformasi tersebut bukan berarti menghapuskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, tapi untuk mentransformasikan hubungan dengan sesama dan Tuhan. Penting bagi gereja mencari kesempatan untuk mengubah apa yang selama ini dianggap sebagai kodrat laki-laki dan perempuan menjadi pilihan perempuan dan laki-laki. Transformasi tersebut diharapkan dapat menghasilkan partisipasi peran yang seimbang termasuk juga dalam mengambil keputusan dan kebijakan dalam gereja. Dalam hal ini juga perlu adanya kesadaran laki-laki untuk mengubah sistem dan pandangan yang ada selama ini. Struktur hierarki gereja bukan untuk menindas jenis kelamin tertentu, tapi untuk menjalankan mekanisme pengaturan dan pelayanan jemaat secara efisien, sehingga untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh jenis kelamin dan gender, tapi oleh keahlian dan kompetensi.
           

Peran Perempuan Karo Dalam Gereja GBKP


Peran perempuan Karo dalam gereja GBKP sudah dimulai sejak awal berdirinya GBKP. Sekitar tahun 1940 sudah berkembang pergerakan perempuan Karo dengan nama Christelijke Meisjes Club Maju (CMCM). Pergerakan ini merupakan calon lahirnya perkumpulan pemuda seluruh GBKP yang disebut Permata, sedangkan perkumpulan/komisi kaum ibu yang disebut Moria secara resmi berdiri tahun 1950. Semangat pergerakan dan partisipasi kaum perempuan Karo tersebut dalam gereja GBKP memberikan sebuah motivasi dan teladan bagi masyarakat Karo untuk ikut berpartisipasi dan berperan dalam kemajuan gereja GBKP. Walaupun demikian, pada kenyataannya perempuan Karo seringkali kurang mendapat penghargaan, kepercayaan, dan dianggap tidak mampu menjalankan sebuah peran seperti seorang laki-laki dalam kehidupan gerejawi. Hal ini dipengaruhi oleh budaya patriarkal yang dianut oleh budaya Karo
                 Komisi kaum perempuan/ibu sudah berdiri sejak tahun 1950 lebih cepat 44 tahun dari komisi kaum bapak/laki-laki yang berdiri tahun 1994, namun sampai tahun 1976 belum ada satu pun pendeta perempuan yang ditahbiskan. Hal ini terjadi bukan karena tidak ada perempuan yang ingin menjadi pendeta, tetapi masih banyak keberatan dan pertimbangan dari pihak sinode dalam menerima seorang perempuan menjadi pendeta. Hal ini sungguh ironis, karena keberatan tersebut didasarkan bahwa perempuan lemah, tidak mampu memimpin, lebih banyak mengandalkan perasaan, gangguan dan gosip dari jemaat bila pendeta perempuan melayani dalam sebuah perkumpulan laki-laki, ditambah lagi pandangan adat bahwa perempuan seharusnya berada di dapur, di ladang, dan kurang cocok untuk menjadi pemimpin, apalagi mengambil keputusan dalam sebuah gereja.
                 Pandangan-pandangan seperti ini juga tetap masih ada sampai saat ini, ketika sudah cukup banyak pendeta perempuan yang ditahbiskan. Mereka tetap diragukan untuk melakukan tanggung jawab yang besar dalam gereja. Hal ini tidak hanya terjadi pada pendeta perempuan, tapi juga jemaat ataupun majelis perempuan. Jabatan-jabatan yang dipegang oleh perempuan dalam gereja GBKP (mungkin juga gereja lain) selalu terkait antara sekretaris, bendahara, ataupun konsumsi. Hal ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa perempuan masih diragukan untuk memimpin dalam gereja, tapi apakah pandangan itu benar? Tentu saja tidak. Sejarah telah membuktikkan kekuatan, semangat, dan keberanian perempuan dalam memimpin, mengambil keputusan, dan memegang tanggung jawab yang besar dalam gereja. Selain itu pandangan-pandangan miring tentang pendeta perempuan yang sebelumnya ditakutkan terjadi memang ada, namun sangat sedikit dibandingkan kasus yang terjadi pada pendeta laki-laki. Hal lain yang juga perlu kita adalah mengapa setiap tahun pendaftaran dan penerimaan mahasiswa teologi dari GBKP selalu didominasi oleh kaum perempuan? Dan mengapa perpecahan dan perebutan kekuasaan dan kepemimpinan dalam gereja lebih banyak terjadi disebabkan oleh dominasi laki-laki yang merasa kepemimpinannya yang paling benar?

TERUS BERUBAH TETAP SETIA ( Sebuah Tinjauan Kritis dan Refleksi Teologis terhadap Misi Dalam Konteks GBKP)

I.                   Pengantar
Sejak berdiri secara mandiri pada tahun 1941 GBKP telah banyak mengalami perkembangan dalam segala bidang. Berbagai peristiwa dan perubahan yang senantiasa terjadi dalam kehidupan jemaat membuat GBKP melakukan pembenahan dan pengembangan diri. Namun, proses pembenahan itu tidak cukup hanya meliputi struktur organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), program kerja, atau pembangunan fisik gereja, namun juga harus meliputi pembenahan dan pengembangan pemahaman teologis mengenai misi GBKP dalam menghadapi situasi kehidupan yang terus berubah.
Sampai hari ini tema perayaan Jubileum 100 Tahun kedatangan Injil ke Tanah Karo pada tahun 1990, “Ini aku, utuslah aku” (Yesaya 6:8) menjadi motto dan nilai yang dipegang serta dihidupi oleh GBKP dalam menjalankan perannya sebagai bagian dari misi Allah (Missio Dei) di dunia ini. Gereja (GBKP) ada karena adanya misi Allah. Allah adalah Allah yang missioner[1]. Oleh karena itu, GBKP perlu senantiasa bertanya dan bergumul ke dunia seperti apa aku diutus? Kini GBKP telah genap berumur 119 tahun (18 April 1890 – 18 April 2009). Tantangan dan perubahan yang dihadapi juga semakin kompleks. GBKP kini berhadapan dengan postmodernisme, globalisasi, kapitalisme, aliran neo kharismatik, dan lain-lain. Situasi dan realita ini membuat GBKP harus berefleksi dan merumuskan kembali misinya  dengan tetap setia mengambil bagian dalam Missio Dei.
Dalam paper ini penulis mencoba untuk meninjau secara kritis teologis perjalanan misi GBKP dulu dan sekarang. Selain itu, penulis juga mencoba untuk mengemukakan konteks kehidupan masayarakat GBKP saat ini dan berbagai unsur yang mempengaruhinya. Pada bagian akhir penulis mencoba membuat sebuah refleksi atas misi GBKP saat ini ketika diperhadapkan dengan konteks kehidupan masyarakat GBKP sekarang dan apa yang perlu dilakukan GBKP untuk mewujudkan Missio Dei yang sesuai dengan konteks masyarakat GBKP.
II.                A.  Meninjau Misi GBKP Dulu dan Sekarang

Pada awalnya, kedatangan misionaris utusan zending NZG ke Tanah Karo adalah untuk mengkristenkan orang Karo agar bertobat dan tidak mengganggu perkebunan milik orang Belanda. Kristenisasi pada masa ini merupakan sebuah bentuk kolonialisme barat. Oleh karena itu, aturan yang ketat akan sepuluh hukum Allah dan siasat gereja dijalankan dengan sangat keras. Pietisme yang menekankan kesaksian/ gaya hidup saleh untuk mendapatkan keselamatan dan menghindari kekafiran menjadi tekanan utama.
Dalam perkembangan selanjutnya, walalupun GBKP telah berdiri secara mandiri dan perkebunan Belanda telah diambil alih oleh pemerintah, namun paham teologis tentang misi untuk mengkristenkan orang lain (terutama yang dianggap kafir) dan penekanan kuat pada pietisme termasuk didalamnya menghindari penggunaan gendang dan musik Karo masih tetap diwarisi oleh GBKP. Namun, pada tahun 1966 dalam perayaan Jubileum 75 tahun GBKP akhirnya musik dan gendang Karo diterima dalam GBKP. Sejak tahun 1942-1970 GBKP dengan gigih mewartakan Injil (berita simeriah) kepada orang Karo yang belum beragama, khususnya mereka yang masih menganut kepercayaan nenek moyang (perbegu). Para pekabar Injil dipersiapkan dengan baik untuk diterjunkan melayani mereka yang belum menerima keselamatan dari Yesus. Sementara itu, pembinaan ke dalam warga gereja sangat minim, bahkan hampir tidak ada.
Mulai tahun 1970 kesibukan ber-PI beralih pada kesibukan mengembangkan pembinaan jemaat-jemaat akibat banyaknya pertambahan jumlah jemaat karena adanya baptisan massal hampir di seluruh Tanah Karo sebagai akibat peristiwa G-30 S/ PKI. Muncul kesadaran bahwa pelayanan terhadap anggota jemaat bukan hanya pelayanan rohani, tetapi pelayanan manusia seutuhnya. Walaupun demikian, penginjilan ke desa-desa dan keluarga tetap dilanjutkan melalui program air bersih, jembatan, penyuluhan pertanian, listrik, dan kesehatan. Pada tahun 1990, dalam perayaan Jubileum 100 tahun GBKP, untuk pertama kalinya GBKP merumuskan misinya untuk menciptakan jemaat yang missioner yang terlibat secara sadar dan aktif dalam pelayanan dan kesaksian gereja. Misi ini dirumuskan sebagai antisipasi dalam menghadapi berbagai tantangan dalam bentuk perubahan nilai sebagai dampak pembangunan dan mobilitas masyarakat[2].
Kini dalam program kerja GBKP 2005-2010 visi GBKP adalah “Hidup Setia Kepada Tuhan”. Tiga hal yang sangat penting dari lima hal yang menjadi misi GBKP dalam masa periode 2005-2010 ini adalah menghargai kemanusiaan, melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kasih, serta meningkatkan perekonomian jemaat[3]. Misi dalam GBKP salah satunya tertuang dalam kesaksian (Marturia) yang salah satu bentuknya adalah penginjilan yang meliputi penginjilan kedalam dan keluar. Pihak yang dituju melalui pekabaran Injil GBKP adalah masyarakat suku Karo yang belum memeluk agama atau menganut kepercayaan nenek moyang (perbegu).
Dari tinjauan di atas kita melihat bahwa misi dalam konteks GBKP sudah mengalami kemajuan dan perkembangan, namun sejak dulu sampai sekarang sebagian besar misi GBKP difokuskan pada kegiatan keluar, misalnya pekabaran Injil (PI) sedangkan pembinaan dan peningkatan kualitas kehidupan jemaat dalam hidup bergereja masih sangat kurang. Penulis tidak anti terhadap kegiatan PI. Penulis menduga bahwa warisan pengaruh pietisme yang kuat ikut menentukan perumusan misi tersebut. Misi untuk melakukan kontekstualisasi teologi demi menghasilkan misi yang kontekstual bagi masyarakat dan pelayanan GBKP masih sangat kurang. Jika demikian, apakah GBKP masih mengarah pada hidup setia kepada Tuhan dalam menjalankan misi-Nya?

B.   Konteks Kehidupan Masyarakat GBKP Saat ini

Saat ini GBKP memiliki 476 runggun[4] yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar terdapat di Sumatera Utara. Setiap runggun memiliki pergumulan dan keprihatinan dalam konteksnya masing-masing. Namun, secara umum sebagai sebuah gereja suku yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya Karo, GBKP kini berhadapan dengan budaya postmodern, globalisasi, aliran neo kharismatik, dan lain-lain. Ketiga hal ini tidak hanya berpengaruh kepada GBKP, namun juga seluruh gereja di dunia.
Dalam globalisasi dunia menjadi semakin terhubung. Globalisasi kebudayaan telah membawa GBKP dan dunia pada homogenisasi (mempersatukan), yaitu standarisasi kehidupan secara global melalui kolonisasi baru secara massal berdasarkan kapitalisme global[5]. Coca cola, jeans, Mac Donalds, Kentucky Fried Chicken, MTV, internet, penggunaan HP bukan merupakan barang baru lagi bagi masyarakat GBKP, bahkan yang terpelosok sekalipun. Setelah homogenisasi muncul retribalisasi, yaitu perlawanan lokal terhadap yang global. Sebagian masyarakat GBKP menjadi sangat fundamentalis dalam hal adat dan budaya serta menghindari pengaruh global dalam kehidupan bergereja. Di sisi lain muncul pula kreolisasi/ glokalisasi, yaitu kebudayaan lokal berinteraksi dengan kebudayaan global yang akhirnya melahirkan kebudayaan hibridis[6]. Ini berarti dalam kehidupan masyarakat GBKP sendiri sudah terjadi percampuran kebudayaan. Setiap jemaat kini memiliki identitas jamak yang ditentukan oleh macam-macam kebudayaan.
Sementara itu gaya hidup postmodern yang mengualifikasi situasi budaya baru yang ditandai oleh goyahnya dasar-dasar mutlak rasionalitas dan runtuhnya ideologi-ideologi besar sejarah terus muncul ke permukaan. Masyarakat didorong untuk hidup dalam norma konsumerisme yang memusatkan diri pada hidup sekarang ini. Kebebasan dari berbagai hambatan dan hanya memikirkan kenikmatan dan kepenuhan diri dianggap menjadi sesuatu yang hakiki. Pada satu sisi, nilai-nilai kekristenan dan budaya (Karo) mulai dipertanyakan. Namun, di sisi lain orang mulai kehilangan makna hidup dan orientasi masa depan. Belum selesai dengan budaya postmodern, kini budaya hipermodernisme telah hadir dalam masyarakat, termasuk masyarakat GBKP.
Kecenderungan pribadi hipermodern adalah mencari kepuasan langsung dan menyingkirkan pembatas-pembatas, baik norma kolektif maupun tujuan bersama. Kebahagiaan pribadi cenderung menggantikan tindakan kolektif. Ada pemujaan terhadap hal-hal baru yang muncul[7]. Pengaruh ini mulai terlihat dalam kehidupan bergereja jemaat GBKP. Orang-orang pergi ke gereja hanya untuk mencari kepuasan langsung dan kebahagiaan pribadi setelah itu langsung pulang. Tidak peduli dengan hubungan kekerabatan dan unsur komunitas dalam gereja. Akibatnya tingkat partisipasi dalam kehidupan gereja menjadi rendah. Buku panduan persekutuan jemaat (PJJ) pada tahun 2008 mencatat jumlah kehadiran jemaat GBKP ke gereja 40% dan hanya 30% yang mau aktif dalam pelayanan di gereja.
Dampak globalisasi, budaya postmodernisme, dan hipermodernisme di Tanah Karo khususnya, membuat GBKP kini menghadapi peningkatan jumlah penderita HIV AIDS, kerusakan lingkungan pertanian akibat penggunaan pestisida, alih fungsi hutan lindung menjadi lapangan golf, angka putus sekolah yang cukup tinggi akibat tidak termotivasi, tidak adanya semangat untuk belajar, dan menyandarkan diri pada kemapanan ekonomi keluarga.
Pengaruh lain yang juga kini kuat muncul dalam masyarakat GBKP adalah perkembangan aliran kharismatik. Perpindahan jemaat GBKP (khususnya kaum muda) ke gereja-gereja kharismatik dan dual keanggotaan gereja menimbulkan persoalan tersendiri bagi GBKP. Selama ini GBKP menjalin hubungan yang baik dengan gereja-gereja pentakostal yang ada di sekitarnya. Namun, aliran neo kharismatik yang kini banyak berkembang dalam masyarakat GBKP menimbulkan persoalan tersendiri karena beberapa ajaran mereka melarang jemaatnya untuk terlibat dalam acara adat dan budaya Karo karena dianggap sebagai warisan kepercayaan nenek moyang. Masyarakat Karo seakan tercabut dari akarnya dan digantikan dengan sebuah identitas dari luar, yaitu khas Amerika.

III.             Mewujudkan Missio Dei Dalam Konteks GBKP
GBKP menghayati dirinya mengambil bagian/ ikut serta dalam mewujudkan Missio Dei di dunia ini. Yesaya 6:8 yang menjadi motto dan semangat yang melandasi pelayanan GBKP selama ini menunjukkan bahwa GBKP terus bertekad untuk setia pada panggilannya dalam mewujudkan kerajaan Allah di bumi. Namun, penghayatan dan tekad ini tidak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan jika GBKP tidak berusaha merumuskan misinya yang kontekstual bagi masyarakat GBKP. Lima hal yang menjadi misi GBKP dalam program kerja 2005-2010 untuk mewujudkan visi GBKP, “Hidup Setia Kepada Tuhan” adalah meningkatkan peribadatan; menghargai kemanusiaan; melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kasih; mewujudkan warga yang dapat dipercaya; serta meningkatkan perekonomian jemaat.
Misi yang telah dirumuskan oleh GBKP di atas merupakan misi yang sangat umum, yang menurut penulis belum memperhitungkan konteks GBKP sebagai sebuah gereja suku yang mengakar dalam kebudayaan Karo dan unsur-unsur lain yang kini mempengaruhinya. Melihat realita dan konteks yang kini dihadapi GBKP, seperti yang telah dikemukakan penulis pada bagian sebelumnya, misi GBKP tersebut masih sangat kurang dan perlu untuk disempurnakan, terutama dalam hal kontekstualisasi teologi misi.
Untuk mewujudkan kontekstualisasi teologi misi GBKP perlu meneliti dan mengkritisi pengaruh ajaran dan misionaris Eropa pada zaman kolonial yang masih mengakar kuat dalam kehidupan GBKP yang mungkin membuat relasi gereja dengan budaya dan lingkungan sekitarnya menjadi terganggu dan kurang terbuka. Selain itu, pengaruh budaya yang masuk dan digunakan dalam kehidupan bergereja juga perlu dikritisi. Sejak tahun 1966 musik dan gendang Karo sudah diterima oleh GBKP, namun sampai saat ini di seluruh Indonesia tidak ada GBKP yang menggunakan musik dan gendang Karo dalam kebaktian Minggu (bandk. Pemakaian gamelan dalam ibadah GKJ). Adat rebu yang menjadi dasar pemisahan tempat duduk dalam ibadah GBKP juga tampaknya perlu ditinjau ulang. Beberapa GBKP telah meninggalkannya namun sebagian besar masih setia mengadopsi adat tersebut.
Harus diakui bahwa kontekstualisasi teologi, terutama teologi Misi di GBKP masih sangat kurang. Kontekstualisasi teologi yang terkait dengan GBKP dan kebudayaan Karo masih terbatas pada tataran akademis, khususnya mahasiswa teologi dan tidak berlanjut dalam kehidupan gereja. Dalam realita globalisasi, postmodern (bahkan hipermodernisme), dan aliran neo kharismatik sekarang ini kontekstualisasi teologi misi harus melibatkan warga jemaat GBKP. Kontekstualisasi mengarah pada doing theology. Artinya, tidak sekedar dari kita kepada konteks, namun juga melibatkan setiap elemen dalam konteks. Kebudayaan global coba untuk diakomodasi, namun juga tidak mengabaikan kebudayaan lokal. Hal ini berarti kontektualisasi adalah kontekstualisasi yang interkultural, membangun teologi misi bersama-sama dengan konteksnya setelah melalui proses panjang “saling mendengarkan”. Melalui hal ini diharapkan dapat dihasilkan “people’s theology”.[8]
Kontekstualisasi teologi misi juga berarti mewujudkan jemaat missioner yang diharapkan dapat melayani dengan professional demi mewujudkan Kerajaan Allah di bumi. Jemaat diberi peran sesuai dengan kemampuan dan bidangnya masing-masing. Gereja dan pemimpin jemaat lebih berperan sebagai bidan yang menolong dan mengarahkan dengan intensif. Hal ini mendorong masyarakat GBKP untuk lebih peka dan sadar serta dapat menunjukkan keterlibatannya dalam penanggulangan masalah HIV AIDS, kerusakan alam, dan pendidikan. Dengan demikian semua anggota GBKP turut serta dan terlibat dalam perwujudan misi Allah dan menghindari tujuan utama misi dalam paradigma modern yang menekankan penambahan anggota gereja, church growth berdasarkan keyakinan bahwa itu satu-satunya jalan bagi manusia untuk diselamatkan[9].
IV.             Penutup
Dalam konteks kehidupan yang terus berkembang GBKP dituntut untuk menegaskan dan merumuskan misinya yang kontekstual sebagai bagian dari perwujudan Missio Dei di bumi ini. Untuk merumuskan misi tersebut GBKP perlu mempertimbangkan sejarah perkembangan misi GBKP di masa lalu dan sekarang. Dalam mewujudkan misi yang kontekstual, GBKP perlu melakukan kontekstualisasi teologi misi melalui kontektualisasi interkultural yang melibatkan peran jemaat untuk ikut serta dalam perwujudan Missio Dei.
DAFTAR PUSTAKA

Bosch, David J, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
Sitepu, Sempa, Kehadiran Injil Kerajaan Allah Membaharui Adat/ Budaya dan Kehidupan Suku-Karo Indonesia, Expo Sentana, Medan, 2000
GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 31 (2007) No. 2
GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 32 (2008) No. 1
Moderamen GBKP,  Garis Besar Pelayanan Gereja Batak Karo Protestan  2005-2010
Majalah Basis, Nomor 05-06 (Mei-Juni) 2009



[1] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006 hlm. 598
[2] Sempa Sitepu, Kehadiran Injil Kerajaan Allah Membaharui Adat/ Budaya dan Kehidupan Suku-Karo Indonesia, Expo Sentana, Medan, 2000 hlm. 308
[3] Garis Besar Pelayanan Gereja Batak Karo Protestan  2005-2010 Moderamen GBKP
[4] Runggun merupakan persekutuan jemaat lokal yang telah berdiri secara mandiri dan berada di bawah klasis
[5] GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 32 (2008) No. 1 hlm. 127.
[6] Ibid hlm. 128
[7] Majalah Basis, Nomor 05-06 (Mei-Juni) 2009 hlm. 8
[8] GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 32 (2008) No. 1 hlm. 111.
[9] GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 31 (2007) No. 2 hlm. 49

PEREMPUAN DALAM BUDAYA KARO : KEINDAHAN YANG TIDAK DISADARI




I.             PENDAHULUAN
         Masyarakat Karo hidup dalam tatanan patriarki. Menurut Rosemary Radford Ruether, masyarakat patriarki adalah masayarakat yang dasar prinsipil pengaturan sosial, baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat secara keseluruhan ada di tangan bapak. Ruether menambahkan ada enam hal yang menjadi ciri masyarakat patriarki, pertama, garis keturunan mengikuti ayah; kedua, suami memiliki kekuasaan atas istri, termasuk hak memukul, menganiaya, bahkan menjual istri dalam perbudakan; ketiga, anak laki-laki lebih disukai daripada perempuan; keempat, peran perempuan umumnya terbatas pada ketrampilan rumah tangga, bukan dalam urusan politik dan budaya; kelima, sebagai istri, tubuh, seksualitas, dan kemampuan reproduksi perempuan dimiliki oleh suaminya; keenam, hak untuk menerima warisan sebagai janda dan anak sangat dibatasi[1].
         Dalam keenam ciri tersebut terlihat jelas bahwa perempuan merupakan pihak yang paling dirugikan, baik ketika mereka masih sebagai seorang anak (gadis), maupun ketika mereka telah menjadi seorang isteri/janda. Pada bagian pembahasan, kita akan melihat apakah keenam ciri tersebut telah menjadi sebuah kebiasaan yang dihargai dalam masyarakat Karo ataukah perempuan Karo telah sadar,tersentuh dan bebas serta berjuang untuk lepas dari penindasan tersebut. Penulis mengangkat tema ini karena bagi penulis keberadaan dan peran kaum perempuan dalam kehidupan masyarakat dan budaya Karo yang direndahkan dan tersingkir merupakan salah satu masalah kontekstual yang benar-benar Asia dan benar-benar perempuan. Oleh karena itu, penulis akan mencoba mendialogkan kenyataan yang terjadi dalam masyarakat dan budaya Karo dengan pemikiran Marianne Katoppo dan Chung Hyung Kyung yang dengan tajam dan cerdas membahas masalah tersebut disertai dengan pemikiran teologis penulis sendiri. Adat dan sistim budaya yang diketengahkan penulis lebih kepada adat dan sistim budaya Karo asli yang banyak dijumpai di daerah pedesaan dan perkotaan di Dataran Tinggi Karo dan Medan[2].
II.          PEMBAHASAN
A.    SITUASI YANG DIHADAPI PEREMPUAN DALAM KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT KARO
         Perempuan yang hidup dalam budaya Karo[3] menghadapi sebuah dilema antara  konsep dan kenyataan yang terjadi di masyarakat. Konsep tentang perempuan dalam budaya Karo begitu luhur dan indah, namun dalam pelaksanaannya konsep itu seolah hilang dan tidak memiliki makna sama sekali. Konsep tentang perempuan tersebut terutama terlihat dalam arti kata dan peran yang disandang oleh perempuan Karo. Dari segi etimologi perempuan dalam bahasa Karo disebut dengan diberu. Tidak ada yang mengetahui dengan pasti bagaimana sejarah kemunculan kata ini dan kapan mulai digunakan. Namun, Kata diberu ini sendiri berasal dari kata mberu, yang artinya cantik, molek, dan indah. Jika seorang suami menyebut enda diberuku (inilah sicantikku), itu berarti tidak ada lagi yang lebih indah, molek, dan cantik selain isterinya. Selain itu, perempuan Karo juga memiliki peran sebagai ndehara, nande, sirukat nakan, dan di sisi lain disebut juga tukur emas[4].
         Ndehara berasal dari kata ndeher, yang berarti dekat, rapat, lengket. Jika seorang suami mengatakan ndeharaku (istriku), hal itu berarti dialah yang paling dekat denganku, tidak ada yang lebih dekat dengan akau selain ndeharaku. Nande berarti tempat bersandar, tiang utama dalam keluarga[5]. Sirukat nakan berarti yang menyendok nasi. Ibu membagikan kehidupan dan kekuatan bagi anggota keluarga. Tukur emas berarti wanita yang sudah dibeli. Seorang suami sering memperkenalkan istrinya dengan kata-kata enda sikutukur, yang artinya “ini yang kubeli”. Di sisi lain seorang istri juga memperkenalkan suaminya dengan kata-kata enda sinukur aku, artinya “ini yang membeli aku”[6].
         Dalam perannya sebagai ndehara, perempuan menyebut suaminya sebagai perbulangen, yang berasal dari kata bulang, yang artinya sesuatu yang dipakai di kepala sebagai mahkota. Jika seorang isteri (ndehara) menyebut suaminya sebagai perbulangenku, hal itu berarti inilah mahkota hidupku yang kuhormati. Sedangkan dalam perannya sebagai sirukat nakan, perempuan lebih dimaknai sebagai pelayan dalam keluarga, yaitu melakukan pekerjaan domestik. Hal ini mengakibatkan tugas ganda bagi seorang isteri, karena selain melayani keluarga mereka juga dituntut untuk bekerja di luar rumah. Dalam kata tukur emas, dengan jelas menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki, karena adanya sebutan “ini yang aku beli”, dan “ini yang membeli aku”. Melalui penjelasan tersebut, kita akan melihat bahwa perempuan yang hidup dalam budaya Karo ditempatkan dalam dualisme. Disatu sisi, mereka menjadi teman, rekan yang sejajar dan mendukung dalam kehidupan, namun di sisi lain mereka juga direndahkan oleh konsep itu sendiri sebagai bagian dalam struktur masyarakat.
            Dalam budaya Karo dikenal istilah kalimbubu sebagi dibata ni idah, yaitu keluarga dari pihak isteri adalah Tuhan yang terlihat. Kalimbubu adalah kelompok pihak pemberi wanita dan sangat dihormati dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo. Masyarakat Karo menyakini bahwa kalimbubu adalah pembawa berkat sehingga kalimbubu itu disebut juga dengan dibata ni idah (Tuhan yang nampak). Sikap menentang dan menyakiti hati kalimbubu sangat dicela. Dalam acara jamuan makan, pihak kalimbubu selalu mendapat prioritas utama, para anakberu tidak akan berani mendahului makan sebelum pihak kalimbubu memulainya, demikian juga bila selesai makan, pihak anakberu tidak akan berani menutup piringnya sebelum pihak kalimbubunya selesai makan, bila ini tidak ditaati dianggap tidak sopan.
Dalam hal nasehat, semua nasehat yang diberikan kalimbubu dalam suatu musyawarah keluarga menjadi masukan yang harus dihormati[7]. Masyarakat Karo sangat menghormati, bahkan rela mati untuk menjaga kehormatan keluarga pihak isteri. Namun dalam kenyataannya, penghormatan terhadap keluarga pihak isteri tidak sebaik perlakuan terhadap isteri dan anak perempuan.
            Sesuai dengan prinsip tukur emas, seorang perempuan dalam budaya Karo seolah telah dibeli oleh pihak mempelai laki-laki. Sebagai pihak yang telah dibeli, perempuan menuai perlakuan buruk dan kesewenang-wenangan dari suaminya dan juga keluarga suaminya, padahal seorang perempuan Karo hanya dibeli dengan harga 316, 416, atau 516 ribu. Marga adalah hal yang sangat penting dalam budaya Karo, dan yang berhak meneruskannya hanyalah laki-laki. Jika seorang isteri tidak dapat memberikan anak laki-laki, seorang suami dapat menceraikan isterinya dan menikah lagi dengan perempuan lain sampai diperoleh anak laki-laki[8]. Dalam budaya Karo hal ini disebut ndehara pejabu dilakina.
Seorang isteri harus mau menerima aturan tersebut, walaupun dalam hatinya begitu sakit dan kecewa. Dalam aturan seperti ini, pihak laki-laki juga mendapat tekanan dan pemaksaan dari masyarakat dan orang tua, namun tetap saja pihak yang paling dipersalahkan adalah perempuan. Akibat yang timbul dari aturan budaya ini adalah pemaksaan, persaingan, dan perlakuan yang tidak adil terhadap isteri yang tidak dapat memberikan anak laki-laki, baik oleh suaminya, orang tua suami, maupun isteri baru suaminya (iperagiken[9]). Aturan dan budaya seperti itu kini telah mengalami perubahan sedikit demi sedikit, namun tetap ada dan menjadi sebuah pilihan yang dibenarkan.
Perlakuan yang tidak adil juga diterima oleh anak perempuan. Ketidakadilan ini mulai diterima oleh anak perempuan saat upacara pemberian nama. Seorang anak perempuan akan diberi nama oleh anakberu, sedangkan anak laki-laki akan diberi nama oleh kalimbubu, pihak yang sangat terhormat[10]. Pemberian nama oleh anakberu ini seakan mengisyaratkan bahwa tugas dan tanggungjawab seorang perempuan Karo adalah sebagai anakberu yang melayani dan mempersiapkan segala sesuatu bagi kepentingan pihak diatasnya. Sebagai orang yang akan dijual kepada pihak laki-laki lain, seorang anak perempuan tidak akan mendapatkan pendidikan seperti yang diterima oleh anak laki-laki. Prinsip orang Karo dalam hal ini adalah “man kai latih-latih adi dungna man dayanken kang”, yang artinya untuk apa berjerih payah menyekolahkan mereka (anak perempuan) jika pada akhirnya akan dijual juga. Selain kesulitan dalam bidang pendidikan, anak perempuan juga tidak akan memperoleh tanah warisan. Mereka hanya mendapatkan harta berupa pakaian dan perhiasan milik orang tua. Hal ini dimaksudkan agar tanah warisan tersebut tidak jatuh ke tangan marga atau suku lain.
            Perbedaan gender[11] menyebabkan ketidakdilan sangat nyata dalam masyarakat Karo. Laki-laki diberi tanggung jawab untuk melakukan hal-hal yang membutuhkan tenaga yang besar dan cekatan, sedangkan perempuan mendapat tugas yang lebih membutuhkan kesabaran. Anak perempuan memperoleh tugas domestik dalam rumah tangga, seperti memasak, mencuci, menyetrika, dan lain-lain, seolah-olah mereka dipersiapkan untuk menjadi seorang isteri yang akan mengurusi hal yang sama nantinya. Hal ini tetap dapat bertahan karena didukung oleh pandangan orang Karo bahwa seorang anak perempuan harus menikah, jika tidak menikah hal itu akan membawa aib bagi nama keluarganya. Sedangkan anak laki-laki dipercayakan mengurus hal-hal diluar rumah seperti beternak dan bercocok tanam. Tugas dan tanggung jawab anak perempuan jauh lebih berat karena jika ada hal yang tidak teratur dalam urusan rumah tangga, anak perempuan tidak jarang mendapat pukulan dan caci maki.
            Namun, bagi seorang isteri mereka tetap mengurusi urusan yang membutuhkan kekuatan dan kesabaran sekaligus. Bagi seorang isteri, tugas ganda yang mereka hadapi untuk mengurus anak dan melayani suami serta bekerja di luar rumah untuk menambah penghasilan (sawah, ladang, mengurus dan memberi makan hewan ternak, berjualan, ke kantor, dll) membuat daya tahan mereka secara psikis dan fisik terganggu. Secara psikis mereka selalu dituntut untuk dapat melakukan dua tugas tersebut dengan seimbang, tepat waktu, dan dapat diterima oleh masyarakat luas. Secara fisik, tenaga mereka terkuras habis dan rentan terhadap berbagai penyakit.
Di sisi lain, sejarah mencatat bahwa laki-laki Karo lebih banyak menghabiskan waktu dan hidupnya untuk bersenang-senang, bercengkrama di warung kopi, berjudi, bermain kartu, minum tuak dan mabuk-mabukan. Oleh karena itu komunikasi antara suami dan isteri sangat kurang[12]. Akibat yang mucul dari keadaan ini adalah terjadinya kekerasan dan perkosaan suami terhadap isterinya. Seorang suami memaksa isterinya untuk berhubungan seks tanpa pernah bertanya apakah sang isteri menginginkannya atau sang isteri sedang sakit atau kelelahan. Bahkan ada seorang isteri yang bersedia mencarikan uang agar suaminya dapat melakukan hubungan seks dengan perempuan lain di lokalisasi asalkan sang isteri tersebut tidak dipaksa[13].
            Masalah lain yang kemudian muncul ketika sang suami melakukan hubungan seks di lokalisasi adalah sang suami terkena HIV AIDS, dan hal ini ditularkan oleh suami kepada isterinya, lalu isteri kepada anak yang dikandungnya. Sekali lagi perempuan menjadi korban. Penderitaan yang dihadapi perempuan justru semakin berat jika seorang perempuan hidup menjanda dengan beberapa orang anak, ditambah lagi jika tidak ada harta warisan yang ditinggalkan oleh suaminya. Pada satu sisi, dia mungkin tidak akan mengalami penderitaan, kekerasan, dan pemaksaan dari seorang suami. Namun, di sisi lain dia akan melakoni peran dan tanggung jawab dalam rumah tangga dan masyarakat secara bersamaan.
            Dalam rumah tangga, dia akan bertanggung jawab membesarkan dan mencukupi kebutuhan anak-anaknya dan dalam masyarakat dia akan memegang tanggung jawab suaminya dalam hal adat istiadat, seperti runggu (rapat untuk memutuskan sesuatu), ngembah belo selambar, nganting manuk, dan erdemu bayu (tiga hal tersebut adalah rangkaian dalam pernikahan orang Karo). Penderitaan, penindasan, dan ketidakadilan  yang dihadapi oleh perempuan dalam kehidupan sosial budaya Karo berlangsung dalam sebuah siklus yang tiada habisnya.
Mereka seolah-olah dipersiapkan sejak masih anak-anak dengan berbagai ketidak adilan yang mereka alami kemudian berlanjut ketika mereka telah menikah dan menjadi seorang isteri. Pada masa tuanya, sebagian besar perempuan yang hidup dalam budaya Karo juga masih mengalami penderitaan, yaitu ketika anak mereka menganggap mereka sebagai beban yang harus ditanggung dan penghalang untuk melakukan pembagian warisan. Oleh karena itu, seringkali terjadi pertengkaran dalam keluarga besar masyarakat Karo dalam hal pembagian warisan, yang tidak jarang berujung pada tindakan kriminal.

B.     DILEMA PEREMPUAN DALAM BUDAYA KARO MENGATASI MASALAHNYA
         Tidak banyak yang dapat dilakukan oleh perempuan yang hidup dalam budaya Karo untuk mengatasi penderitaan dan ketidakadilan yang mereka hadapi. Mereka mencoba bertahan dan sabar. Mereka saling berbagi cerita, pengalaman, dan langkah-langkah konkrit dalam menghadapi permasalahan bersama. Jika mereka melakukan protes atau berontak terhadap situasi yang ada, kekerasan dan penganiayaan yang mungkin terjadi kepada mereka. Protes yang mereka lancarkan mau tidak mau akan berkaitan dengan adat dan budaya yang disepakati bersama oleh masyarakat. Oleh karena itu resiko yang mereka dapatkan tidak hanya berasal dari keluarga (suami dan anak-anak) mereka sendiri, tapi juga resiko hukuman masyarakat seperti dikucilkan dan nama baik keluarga yang selama ini dibangun menjadi buruk di mata masyarakat.
         Tidak sedikit juga yang mencoba terbiasa dengan hidup seperti itu. Kehidupan tersebut coba dihayati dan dirasakan sebagai bagian dari hidup sehari-hari, sehingga kekerasan, penindasan, dan ketidakadilan itu semakin dilestarikan. Perempuan yang telah terbiasa dengan kehidupan seperti itu, menumbuhkan paham dan pandangan-pandangan yang ada, seperti pentingnya anak laki-laki dan mengurusi hal-hal domestik rumah tangga kepada anak-anaknya, sehingga anak-anaknya kelak juga tidak akan mengeluh terhadap situasi yang mereka hadapi dan memandangnya wajar. Perempuan membangun penjara kecil bagi mereka dalam penjara besar adat istiadat dan budaya[14].
         Memang tidak semua rumah tangga orang Karo seperti itu, tetapi dengan aturan adat dan lingkungan budaya yang mengikat dan memaksa, 80% kemungkinan rumah tangga orang Karo akan menuju hal itu. Saat ini masalah HIV AIDS meningkat tajam di tanah Karo, jika kekerasan seksual terhadap perempuan dalam rumah tangga tetap berlangsung dan para suami diijinkan untuk melakukan hubungan seks di lokalisasi, kemungkinan jumlah penderita HIV AIDS di tanah Karo akan meningkat luar biasa. Perempuan kembali diperhadapkan kepada dilema apakah rmereka rela terus dianiaya secara seksual atau mengijinkan suami mereka berhubungan seks dengan WTS di lokalisasi.
         Dilema yang dihadapi oleh perempuan yang hidup dalam budaya Karo adalah dilema kesadaran dan sistem. Ketika seorang perempuan sadar bahwa dia tertindas, menderita, dan mendapat perlakuan yang tidak adil, perempuan diperhadapkan kepada kenyataan bahwa sumber masalah yang mereka hadapi adalah sistem yang berkuasa. Menghadapi sistem tersebut perempuan menyadari bahwa mereka tidak berdaya dan tidak memiliki kuasa yang cukup untuk meruntuhkan budaya yang menindas tersebut. Namun, ketika para perempuan ingin menggalang kekuatan dan dukungan diantara perempuan yang hidup dalam budaya Karo, mereka mendapati kenyataan bahwa banyak perempuan lain yang belum sadar atas apa yang mereka alami, bahkan tidak jarang terjadi pertentangan diantara mereka yang membuat usaha mereka gagal.
         Gereja GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) sebagai gereja mayoritas dalam masyarakat Karo juga tidak bisa berbuat banyak karena budaya patriarki itu sendiri juga mempengaruhi kehidupan gereja. Gereja masih menempatkan perempuan dalam urusan–urusan domestik, seperti bagian konsumsi, menyiapkan minuman dalam rapat-rapat majelis, dan mengurus manula, seolah kemampuan yang dimiliki perempuan hanya dalam hal itu saja.
C.    BERJUANG BERSAMA CHUNG HYUN KYUNG DAN MARIANNE KATOPPO
1.      Chung Hyun Kyung
         Matahari merupakan unsur penting yang ditekankan oleh Kyung dalam bukunya “Struggle to be the Sun Again”. Perempuan adalah matahari yang dapat memancarkan sinarnya sendiri dan memberikan kehidupan, tetapi sejalan dengan penindasan dan budaya patriarkal yang masuk dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Asia, khususnya di Korea, tempat Kyung mulai berteologi, perempuan berubah menjadi bulan yang sinarnya tergantung kepada sinar lainnya. Peran dan jati diri perempuan kini bergantung kepada pemberian dan citra laki-laki yang membentuk diri perempuan. Tidak ada lagi kebebasan untuk menentukan jati diri sendiri.
         Perjuangan perempuan Karo untuk sadar dan kembali ke hakikatnya yang indah dan cantik (Struggle to be mberu again), merupakan bagian dari perjuangan Kyung untuk menjadikan perempuan Asia sebagai matahari kembali. Kecantikan, kemolekan, dan dan keindahan perempuan Karo merupakan jati diri, identitas terdalam yang dimiliki perempuan Karo.     Perjuangan ini lebih mengarah kepada penyadaran perempuan Karo akan jati diri dan hakikat mereka yang indah yang selama ini terlupakan atau bahkan tidak diketahui sama sekali karena begitu nyaman dalam penindasan dan ketidakadilan sistim budaya dan laki-laki. Jati diri dan hakikat mereka tidak akan pernah hilang walaupun ditindas, dan itu merupakan modal yang sangat berharga untuk bangkit dari tidur yang panjang selama ini. Berbicara tentang perempuan seharusnya pertama kali bicara tentang jati diri perempuan (prolegomena perempuan), bukan peran dan tanggung jawabnya.
         Dalam budaya Karo yang begitu mengikat, laki-laki juga merupakan korban. Ketika mereka tidak memiliki anak laki-laki, mereka dipaksa oleh sistim budaya yang ada untuk menikah lagi sampai memiliki anak laki-laki sebagai penerus marga. Ketika seorang isteri tidak tahan lagi untuk dipaksa melayani keinginan seksual suaminya, sang isteri kemudian mengijinkan suaminya pergi ke tempat lokalisasi, yang membuat suaminya dan seluruh keluarganya rentan terkena HIV AIDS. Oleh karena itu, sejalan dengan gagasan Kyung, perjuangan perempuan Karo tidak untuk melawan laki-laki, namun sistim budaya Karo yang menindas.
         Gereja tidak dapat sepenuhnya diharapkan bagi gerakan pembebasan perempuan Asia, yang didalamnya terdapat perempuan Karo. Gereja lebih memihak dan melegitimasikan keabsahan sistim budaya yang menindas. Dosa tidak lagi menjadi dosa perseorangan, tetapi telah menjadi dosa sistem dan menjadi karakter gereja dan budaya masyarakat. Padahal Yesus sendiri hadir dalam solidaritas atas penderitaan manusia, bahkan ia ikut menderita bersama manusia untuk membawa penyadaran dan pembebasan. Oleh karena itu, pelayanan gereja seharusnya adalah pelayanan yang transformatif, yaitu mengubah sesuatu yang struktural (menindas/tidak adil), menyadarkan dan memperjuangkan hak orang-orang yang tersingkirkan serta tertekan.
         Dalam budaya Karo yang seharusnya menjadi kalimbubu adalah Yesus sendiri. Yesus menjadi sosok yang begitu dihormati, diperhatikan, diteladani, sehingga jika hal benar-benar dipahami, penghargaan terhadap Yesus sebagai keluarga pihak perempuan akan diteruskan dengan penghargaan dan perlakuan yang hormat dan adil terhadap perempuan yang tidak lain adalah anak-Nya sendiri.
         Kyung menawarkan konsientisasi (penyadaran individu) dan jejaring untuk mengatasi dilema dan masalah yang dihadapi perempuan Karo. Untuk mencapai hal ini, Kyung menyarankan tiga hal (metodologi) yang perlu dilakukan, yaitu induktif (adanya storytelling akan pengalaman dan komitmen para perempuan Karo), kolektif (pendekatan), dan inklusif (adanya perspektif dan tujuan). Sebelum mengadakan storytelling, perempuan Karo diharapkan membentuk sebuah komunitas bersama yang dapat menjadi wadah mereka berkumpul bersama. Dalam perkembangan selanjutnya komunitas ini akan menjadi tempat bagi perempun Karo untuk melakukan analisis sosial dan analisis teologis (refleksi teologis). Dalam storytelling setiap perempuan Karo membagikan pengalaman yang mereka miliki. Pengalaman suka, duka, iman, harapan, dan situasi yang mereka hadapi. Mereka saling mendengarkan, menguatkan, dan membagikan harapan dan komitmen mereka[15].
         Setelah melakukan storytelling dilakukan analisis sosial. Dalam analisis sosial, perempuan Karo mencoba mencermati secara kritis nilai-nilai sosial budaya Karo yang selama ini menindas mereka. Dalam bagian ini juga diteliti apa saja yang menjadi kelemahan dan keunggulan sistim sosial budaya Karo. Setelah melakukan analisis sosial, perempuan Karo dituntut untuk melakukan sebuah analisis teologis (refleksi teologis). Perempuan Karo mulai merefleksikan pengalaman mereka bersama Yesus dalam kehidupan mereka sehari-hari yang diwarnai penderitaan dan ketidakadilan. Mereka mulai mencari arti kemanusiaan yang utuh, mencari sosok Alkitab yang mau mendukung dan berjuang bersama mereka. Oleh karena itu dalam refleksi teologis ini para perempuan Karo akan mulai menafsirkan Alkitab melalui sudut pandang mereka, melalui pengalaman mereka sehari-hari, yang selama ini tidak diberikan oleh gereja.
         Perempuan Karo dapat mengekspresikan teologinya melalui berbagai bentuk kesenian Karo. Masyarakat Karo memiliki berbagai kesenian khas seperti tarian empat serangkai, roti manis, nyayian ngrengget, cerita rakyat seperti putri hijau, beru Ginting pase, beru Ginting sope mbelin, kak tengkok bungana, legenda nira (pohon enau), dan jenis kesenian lain yang dapat dijadikan ekspresi teologi perempuan Karo. Berbagai macam jenis kesenian itu juga dapat dijadikan alat untuk menggambarkan betapa selama ini perempuan Karo menderita dan tertindas oleh sistim budaya yang ada. Refleksi teologis perempuan Karo akan membentuk spiritualitas perempuan Karo yang menurut Kyung memiliki tujuh karakteristik, yaitu nyata dan menyeluruh, kreatif dan fleksibel, bersifat kenabian dan menyejarah, berorientasi komunitas, mendukung kehidupan, bersifat ekumenis, merangkul semuanya, dan berpusat pada dunia dan ciptaan
         Setelah perempuan Karo memperoleh kesadaran akan posisi dan keberadaan mereka selama ini, perempuan Karo merumuskan tujuan perjuangan mereka, bentuk perjuangan mereka, dan cara mereka untuk merangkul dan menyadarkan laki-laki Karo. Tujuan perjuangan perempuan Karo bukanlah untuk kembali menindas, tetapi mewujudkan keadilan dan kesetaraan. Setiap perempuan Karo yang telah sadar akan ketertindasan mereka, secara langsung maupun tidak langsung akan berusaha melakukan penyadaran terhadap laki-laki. Persatuan perempuan Karo yang telah sadar ini akan membentuk jejaring diantara perempuan Karo, maupun seluruh perempuan Asia untuk mendukung dan memperlancar usaha mereka. Betapa pun kuatnya sistim sosial budaya yang telah mengakar berabad-abad dalam masyarakat Karo, namun jika seluruh perempuan Karo telah mengalami penyadaran dan persatuan, sistim tersebut akan dapat dirombak dan dirumuskan dengan lebih adil. Perjuangan ini memang tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat, namun waktu yang tidak singkat itu dapat diisi dengan berbagai usaha dan gerakan penyadaran secara intensif dan terus menerus.
         Budaya storytelling sebenarnya telah lama ada dalam kehidupan perempuan Karo yang dibangun dalam wadah aron,  nutu, nimpa, dan cekurak. Wadah tersebut terbentuk seiring dengan pekerjaan yang dibebankan kepada perempuan. Aron biasanya dilakukan dalam pekerjaan perempuan di ladang atau sawah. Nutu dan nimpa adalah pekerjaan yang dilakukan perempuan untuk mempersiapkan kerja tahun (pesta tahunan), sedangkan cekurak adalah aktivitas yang lebih memiliki konotasi negative (gossip) yang dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja[16]. Dalam aron, nutu, nimpa, dan cekurak perempuan Karo dapat sering bertemu dan berkumpul.  Namun, topik pembicaraan mereka sangat jarang menyangkut ketertindasan dan ketidakadilan yang mereka alami akibat sistim budaya dan perlakuan laki-laki Karo. Topik yang lebih banyak dibicarakan adalah tentang pakaian, pesta adat, harga barang-barang kebutuhan, dan lain-lain. Namun, adanya wadah ini sebenarnya sebuah langkah yang sangat baik untuk mengatasi budaya diam.
         Selain itu, Moria[17] dan perkumpulan beru merupakan wadah yang tepat bagi perempuan Karo untuk melakukan storytelling, analisis sosial, dan refleksi teologis. Moria dan perkumpulan beru merupakan wadah yang paling banyak menampung peran serta, pemikiran, dan harapan perempuan Karo. Namun, masalah kesadaran feminis merupakan masalah utama dalam wadah ini. Bahkan tidak jarang usaha mereka kembali meletimasi budaya Karo yang menindas. Peran teolog feminis atau teolog pro feminis sangat penting untuk membantu mendatangi atau mendekati perempuan Karo untuk mengajak mereka membagikan pengalaman, keluh kesah, dan suka duka selama ini. Selain itu teolog feminis dan teolog pro feminis diharapkan memberikan arahan, penyadaran, dan tuntunan (bidan) agar perempuan Karo dapat mulai berfleksi dan berteologi secara mandiri sesuai dengan pengalaman hidup mereka, tidak hanya teologi teoritikal, tapi menuju teologi kehidupan yang menekankan God praxis.
2.      Marianne Katoppo
               Tulisan dan pemikiran Marianne Katoppo merupakan sebuah gagasan yang benar-benar Indonesia dan Asia. Dalam bukunya “Tersentuh dan Bebas” Marianne Katoppo berbicara dengan nyaring tentang fakta diskrimantif terhadap perempuan,yang ada di Asia. Menurutnya ketertindasan yang dialami oleh perempuan dalam pekerjaan, ekonomi, budaya, dan sosial merupakan dampak kolonialisme yang masih tertinggal di Indonesia dan Asia. Ada kemungkinan budaya dan adat Karo yang patriarki juga dipengaruhi oleh kolonialisme barat pada saat penjajahan (membutuhkan penelitian lebih lanjut) dan terus berlangsung sampai saat ini. Bangsa Indonesia, khususnya suku Karo yang telah tertindas oleh penjajahan, ternyata masih masih menindas yang lain juga, yaitu perempuan Karo.
               Bagi Marianne Katoppo, kata perempuan sendiri justru lebih agung menggambarkan diri perempuan. Berakar pada kata mpu yang biasanya diterjemahkan sebagai ‘berdaulat’ atau ‘santa’ atau ‘ibu’, kata perempuan menunjuk kebijaksanaan, kuasa, dan wibawa. Ketika perempuan sebagai seseorang yang memiliki kedaulatan, hidup dalam suatu susunan masyarakat yang membatasi, bahkan menghilangkan kedaulatan mereka, perempuan kemudian dianggap sebagai sesuatu yang lain.
               Menjadi sesuatu yang lain juga dialami oleh perempuan Karo. Kata diberu yang berasal dari kata mberu telah menunjukkan keindahan, kemolekan, dan kecantikan perempuan Karo, ditambah lagi mereka sebagai perempuan yang dikatakan memiliki kedaulatan. Oleh karena itu, menjadi perempuan Karo berarti menjadi seseorang yang memiliki kedaulatan hidup kecantikan, keindahan, dan kemolekan. Namun, perempuan Karo hidup dalam sistim sosial budaya yang membatasi dan memaksa mereka menyangkal kedaulatan dan keindahan perempuan yang ada dalam diri mereka. Seperti halnya bulan yang memperoleh sinarnya dari pantulan matahari, citra perempuan Karo juga selalu merupakan perolehan, tidak pernah primer. Ia tidak lagi menjadi pribadi dirinya sendiri, tetapi selalu menjadi ndehara, nande, sirukat nakan, dan tukur emas.
               Sesuatu yang lain itu dianggap sebagai ancaman dan menggangu keseimbangan, sehingga perempuan Karo akhirnya ditindas. Namun, menurut Marianne Katoppo, menjadi sesuatu yang lain juga dapat menjadi sesuatu yang membebaskan, yang dapat digunakan secara positif untuk memperkaya kebudayaan nasional. Untuk berhenti menjadi sesuatu yang lain perempuan Karo harus menjadi seperti laki-laki, dalam artian setara dan adil. Perempuan Karo tidak dipandang sebagai ancaman, namun sebagai sesama yang juga berhak mendapat warisan, pendidikan, pekerjaan, penghargaan, dan hak yang sama dengan laki-laki Karo.
               Laki-laki dan budaya Karo gagal melihat dan memahami hakikat kalimbubu sebagai dibata ni idah dan hakikat diberu sebagai seseorang yang berdaulat, cantik, dan indah. Laki-laki dan sistim sosial budaya Karo telah melupakan fungsi kalimbubu sebagai supremasi keadilan dan kehormatan[18]. Perlakuan yang tidak adil dan menindas perempuan Karo merupakan tindakan yang menghina dan menyalahi fungsi dan kedudukan kalimbubu dalam adat istiadat Karo.
               Menurut Marianne Katoppo, ketakutan laki-laki Asia dan Indonesia, dalam hal ini khususnya laki-laki dan budaya Karo untuk memandang perempuan Karo setara dan adil adalah ketakutan bila struktur patriarkal ambruk, takut kehilangan status, dan takut terhadap Yang lain yang mengancam itu, padahal lelaki yang bermutu tidak terancam oleh tuntutan perempuan akan kesamaan. Mereka menyadari bahwa nilai mereka sebagai manusia sama sekali tidak terancam oleh kaum perempuan yang meminta agar diakui sebagai manusia juga.
               Gereja-gereja di Asia, Indonesia, bahkan gereja GBKP (Gereja Batak Karo Protesan) masih menganggap perempuan sebagai yang lain. Gereja–gereja memberikan sovinisme dan legitimasi teologis terhadap peran dan kedudukan laki-laki. Ketika perempuan memasuki sistim dan kehidupan gereja, mereka diharuskan untuk bekerja, berkarya, dan menyampaikan aspirasi serta gagasan dalam konteks sovinis laki-laki. Pengalaman perempuan akan ketidakadilan, subordinasi, diskriminasi, dan penindasan dipinggirkan, bahkan ditolak keabsahannya. Tidak hanya terhadap perempuan gereja bersikap demikian, namun juga terhadap kaum miskin, waria, homoseksual, dan penderita penyakit HIV AIDS yang sedang berkembang pesat di tanah Karo.
               Gereja melupakan hakikatnya yang hakiki sebagai tubuh Kristus, yaitu solidaritas terhadap masalah kemanusiaan.Legitimasi-legitimasi teologis gereja melalui tafsiran-tafsiran yang sangat bersifat laki-laki semakin membenamkan perempuan dalam ketidasadaran mereka, membuat perempuan Karo tidak sadar bahwa mereka adalah Imago Dei, diciptakan menuru citra Allah. Tafsiran-tafsiran yang berat sebelah membebani perempuan sebagai pintu gerbang dosa, penyebab manusia jatuh ke dalam dosa. Oleh karena itu, Marianne Katoppo mengajak seluruh perempuan Asia, Indonesia, dan perempuan Karo untuk berteologi di tengah budaya yang patriarkhal, dan membaca alkitab dari kaca mata pengalaman perempuan.                     
               Perempuan Karo juga dapat menghidupkan tokoh-tokoh perempuan dalam Alkitab untuk mendukung perjuangan mereka, seperti Abigail, Naomi dan Rut, Hana dan Penina, Hagar, perempuan Siro-Fenisia, dan lain-lain. Cara perempuan Karo ‘menghidupkannya’ adalah dengan mulai mencari pengertian tentang hal-hal yang mereka imani selama ini dan mencari iman dalam hal-hal yang mereka tahu dan alami selama ini. Dalam kehidupan perempuan Karo ada hubungan dialektis antara fides quaerens intellectum (iman beusaha beroleh pengertian) dengan intellectum quaerens fides (pengetahuan berusaha memperoleh iman). Dengan menganalisis realitas, tradisi, dan Alkitab, perempuan Karo dapat mengalami sebuah pencerahan yang akan menunjukkan harga diri mereka sebenarnya. Dengan demikian perempuan Karo akan hidup seperti sebuah peribahasa masyarakat Karo 'lembu Maryke pulah tambatna' yang artinya orang-orang yang hidup bebas, tidak dikekang oleh sesuatu hal.
      PENUTUP
Perempuan Karo seringkali memilih bertahan dengan maksud untuk mengorbankan diri (subjek) demi anak-anak dan keluarga mereka, tetapi apa yang mereka lakukan tidak lebih menjadi korban (objek). Idea mengorbankan diri tentunya demi keselamatan, namun yang mereka lakukan sebenarnya bukanlah mendatangkan keselamatan, tetapi menjadikan anak-anak dan keluarga mereka terus hidup dalam struktur budaya yang menindas dan siklus kekerasan.
Perjuangan tokoh-tokoh perempuan dalam Alkitab dan pengorbanan Yesus perlu menjadi acuan bagi perempuan Karo. Yesus mengorbankan diri karena ia mencintai manusia dengan habis-habisan dan akhirnya ia mendatangkan keselamatan bagi manusia. Yesus bukan korban, tetapi Ia menelanjangi struktur budaya Yahudi yang menindas dan praktek kambing hitam dalam masyarakat saat itu.
Selama perempuan Karo hidup dalam ketidaksadaran, selama itu pula mereka tidak punya kehendak (dibatasi/dihilangkan), padahal seseorang tidak mungkin bertumbuh tanpa punya kehendak. Ketidaktahuan telah menjadi penyebab penderitaan. Perempuan Karo sejatinya hidup berdaulat, indah, molek, dan cantik, namun sistim budaya dan siklus kekerasan dan ketidakadilan telah membuat perempuan Karo bermoralitas budak baik disadari ataupun tidak. Perempuan Karo tidak boleh hanya berkhayal akan sebuah kesetaraan karena merekalah agen-agen perubahan itu yang akan merangkul dan menyadarkan laki-laki dan anak-anak. Oleh karena itu, kesadaran mutlak dimiliki perempuan Karo, walaupun inisiatif untuk sadar tidak mutlak berasal dari perempuan.
Refleksi dapat menjadi sarana penyadaran diri yang efektif. Dalam refleksi seseorang mengubah pengalaman mentah menjadi pengalaman yang bermakna. Ada hubungan masa lalu dan masa depan serta antisipasi terhadap masa depan, sehingga perempuan Karo bisa menyadari apa yang sebenarnya terjadi dengan mereka dan menghayati penyataan Allah yang terjadi di sepanjang kehidupan mereka. Ada hubungan dialektis antara Alkitab dengan kehidupan sehari-hari. (Ebenezer Ks)

DAFTAR PUSTAKA  
      Chung Hyun Kyung. Struggle to be the Sun Again:Introducing Asian Women’s Theology. Maryknoll: Orbis Books. 1994
      Katoppo, Marianne. Tersentuh dan Bebas. Jakarta: Aksara Karunia.2007
Natar, Asnat M (ed). Perempuan Indonesia: Berteologi Feminis dalam konteks. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Duta Wacana. 2004 
Prinst, Darwis. Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo. 1996
Ruether, Rosemary Radford. The Dictionary of Feminist Theologies. Louisville, Kentucky: Wesminster John Knox Press. 1996
Tamboen, P. Adat Istiadat Karo. Djakarta: Balai Pustaka. 1952
kawarmedan@yahoo.com diakses Minggu, 7 Desember 2008
Http//www.Konfigurasi.com diakses Senin, 8 Desember 2008



[1] Ruether, Rosemary Radford. The Dictionary of Feminist Theologies. Louisville, Kentucky: Wesminster John Knox Press. 1996 Hal 85
[2] Hal ini mengingat adat dan sistim budaya Karo diluar Dataran Tinggi Karo dan Medan sudah banyak berubah akibat percampuran dengan budaya lain, bahkan banyak juga yang ditinggalkan.
[3] Penulis tidak menulis secara spesifik perempuan Karo, karena banyak juga perempuan dari suku lain yang menikah dengan laki-laki Karo diharuskan masuk menjadi perempuan Karo melalui upacara tertentu, diberi beru, dan wajib mengikuti adat istiadat Karo
[4] Natar, Asnat M (ed). Perempuan Indonesia: Berteologi Feminis dalam konteks. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Duta Wacana. 2004  Hal. 44
[5] Http//www.Konfigurasi.com diakses Senin, 8 Desember 2008
[6] Natar, Asnat M (ed). Perempuan Indonesia: Berteologi Feminis dalam konteks. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Duta Wacana. 2004  Hal. 44-45
[7] kawarmedan@yahoo.com diakses Minggu, 7 Desember 2008

[8] Tamboen, P. Adat Istiadat Karo. Djakarta: Balai Pustaka. 1952 Hal. 152
[9] Dalam budaya iperagiken ini sesama isteri dari sang suami mengadakan perjanjian bahwa salah satu akan tunduk terhadap yang lain.
[10] Prinst, Darwis. Adat Karo. Medan: Kongres Kebudayaan Karo. 1996 Hal. 171
[11] Gender dalam ilmu social adalah pola relasi antara laki-laki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial masing-masing, termasuk didalmny adalah pembagian kerja. Pola relasi kuasa, perilaku, bahasa, dan persepsi yang membedakan laki-laki dan perempuan.
[12] Natar, Asnat M (ed). Perempuan Indonesia: Berteologi Feminis dalam konteks. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Duta Wacana. 2004  Hal. 46
[13] Hal ini diperoleh dari pengalaman seorang warga jemaat Pdt. Suenita Sinulingga yang diceritakan ulang dalam buku Perempuan Indonesia, berteologi feminis dalam konteks Hal. 46

[14] Natar, Asnat M (ed). Perempuan Indonesia: Berteologi Feminis dalam konteks. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Duta Wacana. 2004  Hal. 306

[15] Chung Hyun Kyung. Struggle to be the Sun Again:Introducing Asian Women’s Theology. Maryknoll: Orbis Books. 1994 Hal 14
[16] dalam hal ini cekurak akan dimaknai ulang secara positif dalam kaitannya dengan perjuangan perempuan Karo
[17] Sebutan bagi anggota komisi perempuan di Gereja Batak Karo Protestan
[18] kawarmedan@yahoo.com diakses Minggu, 7 Desember 2008