Rabu, 27 Oktober 2010

Transformasi Peran Perempuan Dalam Gereja

Kurangnya penghargaan dan penerimaan pendeta perempuan, ataupun majelis perempuan dalam gereja GBKP sedikit banyak dipengaruhi oleh budaya Karo yang sangat patriarkal. Salah satu unsur dalam budaya tersebut yang juga turut mempengaruhi gereja adalah penekanan peran perempuan pada peran biologisnya. Budaya Karo terlihat lebih membutuhkan perempuan untuk melahirkan anak daripada perannya dalam gereja dan masyarakat. Hal ini kemudian diadopsi oleh gereja GBKP. Hal ini terlihat ketika sinode GBKP mempermasalahkan penerimaan pendeta perempuan berdasarkan alasan fisik dan kemampuan biologis. Selain penekanan unsur biologis dalam budaya Karo, kecemasan sinode dan jemaat terhadap terjadinya konflik peran dalam diri seorang perempuan juga turut mengurangi kepercayaan dan penerimaan akan kemampuan seorang pendeta perempuan. Kecemasan seperti itu memang wajar, tetapi kecemasan itu akhirnya menindas dan mengecilkan peran dan kemampuan seorang pendeta ataupun majelis perempuan. Akibatnya adalah pendeta atau majelis perempuan hanya diberi kedudukan yang rendah dalam gereja. Kedudukan yang rendah ternyata membuat kewajiban pendeta atau majelis perempuan semakin banyak dan hak mereka semakin sedikit.
                 Anne Homes mengungkapkan bahwa salah satu alasan para perempuan memilih bidang karir daripada menjadi isteri, ibu, atau mengurus rumah tangga adalah domestikasi peran sebagai isteri, ibu, atau pengurus urusan rumah tangga membatasi kaum perempuan. Menurut saya pendapat tersebut ada benarnya ketika saya mencermati peningkatan minat perempuan Karo dalam hal karir, khususnya menjadi pendeta. Salah satu buktinya adalah jumlah perempuan yang mendominasi dalam hal pendaftaran dan penerimaan mahasiswa teologi di GBKP. Namun, ternyata persoalannya tidak semudah yang dibayangkan oleh perempuan. Ketika mereka memasuki dunia karir dan menjadi pendeta dalam gereja ternyata mereka juga mendapat perlakuan dan peran yang sama dari gereja, yaitu domestifikasi yang membatasi mereka. Masalahnya adalah apakah mereka akan bertahan dalam keadaan seperti itu, kembali ke domestifikasi rumah tangga, ataukah melakukan transformasi?
                 Cara terbaik mengatasi persoalan diatas adalah dengan melakukan transformasi peran perempuan dan laki-laki dalam gereja. Transformasi ini tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa dan dalam waktu yang singkat, namun butuh persiapan dan rencana yang matang. Transformasi tersebut bukan berarti menghapuskan perbedaan antara perempuan dan laki-laki, tapi untuk mentransformasikan hubungan dengan sesama dan Tuhan. Penting bagi gereja mencari kesempatan untuk mengubah apa yang selama ini dianggap sebagai kodrat laki-laki dan perempuan menjadi pilihan perempuan dan laki-laki. Transformasi tersebut diharapkan dapat menghasilkan partisipasi peran yang seimbang termasuk juga dalam mengambil keputusan dan kebijakan dalam gereja. Dalam hal ini juga perlu adanya kesadaran laki-laki untuk mengubah sistem dan pandangan yang ada selama ini. Struktur hierarki gereja bukan untuk menindas jenis kelamin tertentu, tapi untuk menjalankan mekanisme pengaturan dan pelayanan jemaat secara efisien, sehingga untuk menjadi pemimpin tidak ditentukan oleh jenis kelamin dan gender, tapi oleh keahlian dan kompetensi.
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar