Rabu, 27 Oktober 2010

TERUS BERUBAH TETAP SETIA ( Sebuah Tinjauan Kritis dan Refleksi Teologis terhadap Misi Dalam Konteks GBKP)

I.                   Pengantar
Sejak berdiri secara mandiri pada tahun 1941 GBKP telah banyak mengalami perkembangan dalam segala bidang. Berbagai peristiwa dan perubahan yang senantiasa terjadi dalam kehidupan jemaat membuat GBKP melakukan pembenahan dan pengembangan diri. Namun, proses pembenahan itu tidak cukup hanya meliputi struktur organisasi, Sumber Daya Manusia (SDM), program kerja, atau pembangunan fisik gereja, namun juga harus meliputi pembenahan dan pengembangan pemahaman teologis mengenai misi GBKP dalam menghadapi situasi kehidupan yang terus berubah.
Sampai hari ini tema perayaan Jubileum 100 Tahun kedatangan Injil ke Tanah Karo pada tahun 1990, “Ini aku, utuslah aku” (Yesaya 6:8) menjadi motto dan nilai yang dipegang serta dihidupi oleh GBKP dalam menjalankan perannya sebagai bagian dari misi Allah (Missio Dei) di dunia ini. Gereja (GBKP) ada karena adanya misi Allah. Allah adalah Allah yang missioner[1]. Oleh karena itu, GBKP perlu senantiasa bertanya dan bergumul ke dunia seperti apa aku diutus? Kini GBKP telah genap berumur 119 tahun (18 April 1890 – 18 April 2009). Tantangan dan perubahan yang dihadapi juga semakin kompleks. GBKP kini berhadapan dengan postmodernisme, globalisasi, kapitalisme, aliran neo kharismatik, dan lain-lain. Situasi dan realita ini membuat GBKP harus berefleksi dan merumuskan kembali misinya  dengan tetap setia mengambil bagian dalam Missio Dei.
Dalam paper ini penulis mencoba untuk meninjau secara kritis teologis perjalanan misi GBKP dulu dan sekarang. Selain itu, penulis juga mencoba untuk mengemukakan konteks kehidupan masayarakat GBKP saat ini dan berbagai unsur yang mempengaruhinya. Pada bagian akhir penulis mencoba membuat sebuah refleksi atas misi GBKP saat ini ketika diperhadapkan dengan konteks kehidupan masyarakat GBKP sekarang dan apa yang perlu dilakukan GBKP untuk mewujudkan Missio Dei yang sesuai dengan konteks masyarakat GBKP.
II.                A.  Meninjau Misi GBKP Dulu dan Sekarang

Pada awalnya, kedatangan misionaris utusan zending NZG ke Tanah Karo adalah untuk mengkristenkan orang Karo agar bertobat dan tidak mengganggu perkebunan milik orang Belanda. Kristenisasi pada masa ini merupakan sebuah bentuk kolonialisme barat. Oleh karena itu, aturan yang ketat akan sepuluh hukum Allah dan siasat gereja dijalankan dengan sangat keras. Pietisme yang menekankan kesaksian/ gaya hidup saleh untuk mendapatkan keselamatan dan menghindari kekafiran menjadi tekanan utama.
Dalam perkembangan selanjutnya, walalupun GBKP telah berdiri secara mandiri dan perkebunan Belanda telah diambil alih oleh pemerintah, namun paham teologis tentang misi untuk mengkristenkan orang lain (terutama yang dianggap kafir) dan penekanan kuat pada pietisme termasuk didalamnya menghindari penggunaan gendang dan musik Karo masih tetap diwarisi oleh GBKP. Namun, pada tahun 1966 dalam perayaan Jubileum 75 tahun GBKP akhirnya musik dan gendang Karo diterima dalam GBKP. Sejak tahun 1942-1970 GBKP dengan gigih mewartakan Injil (berita simeriah) kepada orang Karo yang belum beragama, khususnya mereka yang masih menganut kepercayaan nenek moyang (perbegu). Para pekabar Injil dipersiapkan dengan baik untuk diterjunkan melayani mereka yang belum menerima keselamatan dari Yesus. Sementara itu, pembinaan ke dalam warga gereja sangat minim, bahkan hampir tidak ada.
Mulai tahun 1970 kesibukan ber-PI beralih pada kesibukan mengembangkan pembinaan jemaat-jemaat akibat banyaknya pertambahan jumlah jemaat karena adanya baptisan massal hampir di seluruh Tanah Karo sebagai akibat peristiwa G-30 S/ PKI. Muncul kesadaran bahwa pelayanan terhadap anggota jemaat bukan hanya pelayanan rohani, tetapi pelayanan manusia seutuhnya. Walaupun demikian, penginjilan ke desa-desa dan keluarga tetap dilanjutkan melalui program air bersih, jembatan, penyuluhan pertanian, listrik, dan kesehatan. Pada tahun 1990, dalam perayaan Jubileum 100 tahun GBKP, untuk pertama kalinya GBKP merumuskan misinya untuk menciptakan jemaat yang missioner yang terlibat secara sadar dan aktif dalam pelayanan dan kesaksian gereja. Misi ini dirumuskan sebagai antisipasi dalam menghadapi berbagai tantangan dalam bentuk perubahan nilai sebagai dampak pembangunan dan mobilitas masyarakat[2].
Kini dalam program kerja GBKP 2005-2010 visi GBKP adalah “Hidup Setia Kepada Tuhan”. Tiga hal yang sangat penting dari lima hal yang menjadi misi GBKP dalam masa periode 2005-2010 ini adalah menghargai kemanusiaan, melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kasih, serta meningkatkan perekonomian jemaat[3]. Misi dalam GBKP salah satunya tertuang dalam kesaksian (Marturia) yang salah satu bentuknya adalah penginjilan yang meliputi penginjilan kedalam dan keluar. Pihak yang dituju melalui pekabaran Injil GBKP adalah masyarakat suku Karo yang belum memeluk agama atau menganut kepercayaan nenek moyang (perbegu).
Dari tinjauan di atas kita melihat bahwa misi dalam konteks GBKP sudah mengalami kemajuan dan perkembangan, namun sejak dulu sampai sekarang sebagian besar misi GBKP difokuskan pada kegiatan keluar, misalnya pekabaran Injil (PI) sedangkan pembinaan dan peningkatan kualitas kehidupan jemaat dalam hidup bergereja masih sangat kurang. Penulis tidak anti terhadap kegiatan PI. Penulis menduga bahwa warisan pengaruh pietisme yang kuat ikut menentukan perumusan misi tersebut. Misi untuk melakukan kontekstualisasi teologi demi menghasilkan misi yang kontekstual bagi masyarakat dan pelayanan GBKP masih sangat kurang. Jika demikian, apakah GBKP masih mengarah pada hidup setia kepada Tuhan dalam menjalankan misi-Nya?

B.   Konteks Kehidupan Masyarakat GBKP Saat ini

Saat ini GBKP memiliki 476 runggun[4] yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagian besar terdapat di Sumatera Utara. Setiap runggun memiliki pergumulan dan keprihatinan dalam konteksnya masing-masing. Namun, secara umum sebagai sebuah gereja suku yang masih memegang nilai-nilai adat dan budaya Karo, GBKP kini berhadapan dengan budaya postmodern, globalisasi, aliran neo kharismatik, dan lain-lain. Ketiga hal ini tidak hanya berpengaruh kepada GBKP, namun juga seluruh gereja di dunia.
Dalam globalisasi dunia menjadi semakin terhubung. Globalisasi kebudayaan telah membawa GBKP dan dunia pada homogenisasi (mempersatukan), yaitu standarisasi kehidupan secara global melalui kolonisasi baru secara massal berdasarkan kapitalisme global[5]. Coca cola, jeans, Mac Donalds, Kentucky Fried Chicken, MTV, internet, penggunaan HP bukan merupakan barang baru lagi bagi masyarakat GBKP, bahkan yang terpelosok sekalipun. Setelah homogenisasi muncul retribalisasi, yaitu perlawanan lokal terhadap yang global. Sebagian masyarakat GBKP menjadi sangat fundamentalis dalam hal adat dan budaya serta menghindari pengaruh global dalam kehidupan bergereja. Di sisi lain muncul pula kreolisasi/ glokalisasi, yaitu kebudayaan lokal berinteraksi dengan kebudayaan global yang akhirnya melahirkan kebudayaan hibridis[6]. Ini berarti dalam kehidupan masyarakat GBKP sendiri sudah terjadi percampuran kebudayaan. Setiap jemaat kini memiliki identitas jamak yang ditentukan oleh macam-macam kebudayaan.
Sementara itu gaya hidup postmodern yang mengualifikasi situasi budaya baru yang ditandai oleh goyahnya dasar-dasar mutlak rasionalitas dan runtuhnya ideologi-ideologi besar sejarah terus muncul ke permukaan. Masyarakat didorong untuk hidup dalam norma konsumerisme yang memusatkan diri pada hidup sekarang ini. Kebebasan dari berbagai hambatan dan hanya memikirkan kenikmatan dan kepenuhan diri dianggap menjadi sesuatu yang hakiki. Pada satu sisi, nilai-nilai kekristenan dan budaya (Karo) mulai dipertanyakan. Namun, di sisi lain orang mulai kehilangan makna hidup dan orientasi masa depan. Belum selesai dengan budaya postmodern, kini budaya hipermodernisme telah hadir dalam masyarakat, termasuk masyarakat GBKP.
Kecenderungan pribadi hipermodern adalah mencari kepuasan langsung dan menyingkirkan pembatas-pembatas, baik norma kolektif maupun tujuan bersama. Kebahagiaan pribadi cenderung menggantikan tindakan kolektif. Ada pemujaan terhadap hal-hal baru yang muncul[7]. Pengaruh ini mulai terlihat dalam kehidupan bergereja jemaat GBKP. Orang-orang pergi ke gereja hanya untuk mencari kepuasan langsung dan kebahagiaan pribadi setelah itu langsung pulang. Tidak peduli dengan hubungan kekerabatan dan unsur komunitas dalam gereja. Akibatnya tingkat partisipasi dalam kehidupan gereja menjadi rendah. Buku panduan persekutuan jemaat (PJJ) pada tahun 2008 mencatat jumlah kehadiran jemaat GBKP ke gereja 40% dan hanya 30% yang mau aktif dalam pelayanan di gereja.
Dampak globalisasi, budaya postmodernisme, dan hipermodernisme di Tanah Karo khususnya, membuat GBKP kini menghadapi peningkatan jumlah penderita HIV AIDS, kerusakan lingkungan pertanian akibat penggunaan pestisida, alih fungsi hutan lindung menjadi lapangan golf, angka putus sekolah yang cukup tinggi akibat tidak termotivasi, tidak adanya semangat untuk belajar, dan menyandarkan diri pada kemapanan ekonomi keluarga.
Pengaruh lain yang juga kini kuat muncul dalam masyarakat GBKP adalah perkembangan aliran kharismatik. Perpindahan jemaat GBKP (khususnya kaum muda) ke gereja-gereja kharismatik dan dual keanggotaan gereja menimbulkan persoalan tersendiri bagi GBKP. Selama ini GBKP menjalin hubungan yang baik dengan gereja-gereja pentakostal yang ada di sekitarnya. Namun, aliran neo kharismatik yang kini banyak berkembang dalam masyarakat GBKP menimbulkan persoalan tersendiri karena beberapa ajaran mereka melarang jemaatnya untuk terlibat dalam acara adat dan budaya Karo karena dianggap sebagai warisan kepercayaan nenek moyang. Masyarakat Karo seakan tercabut dari akarnya dan digantikan dengan sebuah identitas dari luar, yaitu khas Amerika.

III.             Mewujudkan Missio Dei Dalam Konteks GBKP
GBKP menghayati dirinya mengambil bagian/ ikut serta dalam mewujudkan Missio Dei di dunia ini. Yesaya 6:8 yang menjadi motto dan semangat yang melandasi pelayanan GBKP selama ini menunjukkan bahwa GBKP terus bertekad untuk setia pada panggilannya dalam mewujudkan kerajaan Allah di bumi. Namun, penghayatan dan tekad ini tidak akan mengalami pertumbuhan dan perkembangan jika GBKP tidak berusaha merumuskan misinya yang kontekstual bagi masyarakat GBKP. Lima hal yang menjadi misi GBKP dalam program kerja 2005-2010 untuk mewujudkan visi GBKP, “Hidup Setia Kepada Tuhan” adalah meningkatkan peribadatan; menghargai kemanusiaan; melakukan keadilan, kebenaran, kejujuran, dan kasih; mewujudkan warga yang dapat dipercaya; serta meningkatkan perekonomian jemaat.
Misi yang telah dirumuskan oleh GBKP di atas merupakan misi yang sangat umum, yang menurut penulis belum memperhitungkan konteks GBKP sebagai sebuah gereja suku yang mengakar dalam kebudayaan Karo dan unsur-unsur lain yang kini mempengaruhinya. Melihat realita dan konteks yang kini dihadapi GBKP, seperti yang telah dikemukakan penulis pada bagian sebelumnya, misi GBKP tersebut masih sangat kurang dan perlu untuk disempurnakan, terutama dalam hal kontekstualisasi teologi misi.
Untuk mewujudkan kontekstualisasi teologi misi GBKP perlu meneliti dan mengkritisi pengaruh ajaran dan misionaris Eropa pada zaman kolonial yang masih mengakar kuat dalam kehidupan GBKP yang mungkin membuat relasi gereja dengan budaya dan lingkungan sekitarnya menjadi terganggu dan kurang terbuka. Selain itu, pengaruh budaya yang masuk dan digunakan dalam kehidupan bergereja juga perlu dikritisi. Sejak tahun 1966 musik dan gendang Karo sudah diterima oleh GBKP, namun sampai saat ini di seluruh Indonesia tidak ada GBKP yang menggunakan musik dan gendang Karo dalam kebaktian Minggu (bandk. Pemakaian gamelan dalam ibadah GKJ). Adat rebu yang menjadi dasar pemisahan tempat duduk dalam ibadah GBKP juga tampaknya perlu ditinjau ulang. Beberapa GBKP telah meninggalkannya namun sebagian besar masih setia mengadopsi adat tersebut.
Harus diakui bahwa kontekstualisasi teologi, terutama teologi Misi di GBKP masih sangat kurang. Kontekstualisasi teologi yang terkait dengan GBKP dan kebudayaan Karo masih terbatas pada tataran akademis, khususnya mahasiswa teologi dan tidak berlanjut dalam kehidupan gereja. Dalam realita globalisasi, postmodern (bahkan hipermodernisme), dan aliran neo kharismatik sekarang ini kontekstualisasi teologi misi harus melibatkan warga jemaat GBKP. Kontekstualisasi mengarah pada doing theology. Artinya, tidak sekedar dari kita kepada konteks, namun juga melibatkan setiap elemen dalam konteks. Kebudayaan global coba untuk diakomodasi, namun juga tidak mengabaikan kebudayaan lokal. Hal ini berarti kontektualisasi adalah kontekstualisasi yang interkultural, membangun teologi misi bersama-sama dengan konteksnya setelah melalui proses panjang “saling mendengarkan”. Melalui hal ini diharapkan dapat dihasilkan “people’s theology”.[8]
Kontekstualisasi teologi misi juga berarti mewujudkan jemaat missioner yang diharapkan dapat melayani dengan professional demi mewujudkan Kerajaan Allah di bumi. Jemaat diberi peran sesuai dengan kemampuan dan bidangnya masing-masing. Gereja dan pemimpin jemaat lebih berperan sebagai bidan yang menolong dan mengarahkan dengan intensif. Hal ini mendorong masyarakat GBKP untuk lebih peka dan sadar serta dapat menunjukkan keterlibatannya dalam penanggulangan masalah HIV AIDS, kerusakan alam, dan pendidikan. Dengan demikian semua anggota GBKP turut serta dan terlibat dalam perwujudan misi Allah dan menghindari tujuan utama misi dalam paradigma modern yang menekankan penambahan anggota gereja, church growth berdasarkan keyakinan bahwa itu satu-satunya jalan bagi manusia untuk diselamatkan[9].
IV.             Penutup
Dalam konteks kehidupan yang terus berkembang GBKP dituntut untuk menegaskan dan merumuskan misinya yang kontekstual sebagai bagian dari perwujudan Missio Dei di bumi ini. Untuk merumuskan misi tersebut GBKP perlu mempertimbangkan sejarah perkembangan misi GBKP di masa lalu dan sekarang. Dalam mewujudkan misi yang kontekstual, GBKP perlu melakukan kontekstualisasi teologi misi melalui kontektualisasi interkultural yang melibatkan peran jemaat untuk ikut serta dalam perwujudan Missio Dei.
DAFTAR PUSTAKA

Bosch, David J, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
Sitepu, Sempa, Kehadiran Injil Kerajaan Allah Membaharui Adat/ Budaya dan Kehidupan Suku-Karo Indonesia, Expo Sentana, Medan, 2000
GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 31 (2007) No. 2
GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 32 (2008) No. 1
Moderamen GBKP,  Garis Besar Pelayanan Gereja Batak Karo Protestan  2005-2010
Majalah Basis, Nomor 05-06 (Mei-Juni) 2009



[1] David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006 hlm. 598
[2] Sempa Sitepu, Kehadiran Injil Kerajaan Allah Membaharui Adat/ Budaya dan Kehidupan Suku-Karo Indonesia, Expo Sentana, Medan, 2000 hlm. 308
[3] Garis Besar Pelayanan Gereja Batak Karo Protestan  2005-2010 Moderamen GBKP
[4] Runggun merupakan persekutuan jemaat lokal yang telah berdiri secara mandiri dan berada di bawah klasis
[5] GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 32 (2008) No. 1 hlm. 127.
[6] Ibid hlm. 128
[7] Majalah Basis, Nomor 05-06 (Mei-Juni) 2009 hlm. 8
[8] GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 32 (2008) No. 1 hlm. 111.
[9] GEMA TEOLOGI, Jurnal Fakultas Theologia, 31 (2007) No. 2 hlm. 49

1 komentar:

  1. yang ini kalo ga salah pernah baca di kantor fakultas deh.. if i am not mistaken this assigment got 96..hahahaha
    follow back ya keltoooo

    BalasHapus