Rabu, 27 Oktober 2010

120 tahun injil ke Taneh Karo


Kenca Itatap Dibata, janah idah-Na maka kerina si enggo ijadiken-Na tuhu-tuhu mehuli”
(Kejadin 1:31a)
Tepat pada hari ini 120 tahun yang lalu (1890), H. C. Kruyt, seorang utusan NZG (Nederlandch Zendeling Genootschap) di Minahasa (1885-1890) mendarat di pelabuhan Belawan setelah menempuh perjalanan laut dari Minahasa. Tanggal itulah yang kita peringati sebagai hari kedatangan Berita Si Meriah kepada orang Karo di GBKP dan hari kelahiran KA/KR. Pdt. H. C. Kruyt adalah anak dari Pdt. Kruyt, utusan NZG di Mojowarno, Jawa Timur. Pdt. Kruyt datang bersama Nicolas Lontoh, seorang Guru Injil dari Minahasa.
Awalnya mereka ingin tinggal di daerah Gugung  (Tanah Karo) untuk mengenal orang Karo dan kebudayaannya karena memang orang Karo lebih banyak tinggal disana. Namun, hal itu tidak diijinkan oleh pihak perkebunan dan kompenie karena sebagaimana yang ditugaskan pihak perkebunan kepada NZG, para penginjil bertugas untuk meredam pengrusakan perkebunan yang dilakukan oleh orang Karo dengan cara mengkristenkan mereka. Dan sumber pengrusakan itu terutama berasal dari Buluh Awar, sebuah desa kecil di kecamatan Sibolangit. Letaknya di sebelah tenggara Sibolangit, berjarak 6 km dari jalan raya Medan Berastagi. Oleh karena itu, H. C. Kruyt menetap di Buluh Awar selama 2 (dua) tahun.
Tahun berikutnya ia menjemput empat guru Injil dari Minahasa, yaitu Benjamin Wenas (1891-1899) ditugaskan di Salabuan, Hendrik Paceek (1891-1899) ditugaskan di Tanjung Beringen, Johan Pinontoan (1891-1902) ditugaskan di Sibolangit, Richard Tampewenas (1891-1914) ditugaskan di Pernangenen. Tahun 1892 Pdt. H.C. Kruyt kembali ke Belanda untuk melanjutkan sekolah kedokteran di Perancis tanpa membaptiskan seorangpun. Penggantinya adalah Pdt. JK Wijngarden. Ia bersama isterinya tiba di Buluh Awar 3 Desember 1892. Sembilan bulan kemudian, yaitu 20 Agustus 1893, Pdt. Wijngarden melakukan pembaptisan pertama terhadap enam penduduk Buluh Awar.
Kegembiraan ini tidak berlangsung lama, 21 September 1984 Pdt. Wijngarden dipanggil menghadap Tuhan karena menderita sakit disentri. Sepeninggal Pdt. Wijngarden, nora Pdt. Wijngarden tetap bertahan dan melayani di Buluh Awar. Pengganti Pdt. Wijngarden adalah Pdt. Joustra. Ia melayani di Buluh Awar selama sepuluh tahun (1895-1905). Ia sangat mahir berbahasa Karo. Ia meletakkan dasar pendidikan modern yang pertama kepada orang Karo dengan membuat buku pelajaran sekolah dalam bahasa Karo dengan tulisan latin. Ia  juga menerjemahkan 104 turi-turin dari Aalkitab ke dalam bahasa Karo, menciptakan lirik Ende-Enden GBKP dalam bahasa Karo sebanyak 52 buah. Beliau juga menyusun Kamus Bahasa Karo Bahasa Belanda (Karo Bataksch Woorden Boek) berisi kurang lebih 5600 asal kata lengkap dengan aksara Karo untuk setiap kata. Kamus itu diterbitkan di Leiden, Negeri Belanda tahun 1907. Beliau jugalah yang pertama kali membuka sekolah di Buluh Awar, Sibolangit, Tanjung Beringen, dan Pernangenen.
Setelah kedatangan Pdt. Joustra, nora Pdt. Wijngarden kembali ke Belanda bersama anaknya. Sebagai perpisahan untuk melepas nora Pdt. Wijngarden, Pdt. Joustra mengarang ende-enden No. 105 “Lawes Me Kam Mejuah-juah”. Pada tahun 1899 NZG mengirim Pdt. Guillaume dari Rijnsche Zending untuk membantu PI di tanah Karo. Setelah itu berturut-turut datang Pdt. J.H. Neumann (1900) dan Pdt. E. J. Van Den Berg (1903), Pdt. J. Van Muylwijk, dll untuk terus membantu pelayanan di Tanah Karo.
Sampai tahun 1900 baru sekitar 25 orang yang dibaptis. Salah satu penyebabnya adalah adanya pembedaan yang tajam antara kepercayaan Kristen dengan adat istiadat Karo yang waktu itu masih banyak dipengaruhi agama pemena. Pada tahun 1942, ketika masa penjajahan Jepang berlangsung, pihak NZG menyerahkan tanggung jawab pengembangan GBKP kepada sinode GBKP. Sejak saat itulah, GBKP berdiri sendiri. Segala rumah pendeta, sekolah, toko buku, poliklinik, dan rumah sakit, termasuk Rumah Sakit Umum Kabanjahe yang selama ini dibangun dan dikelola NZG diserahkan kepada GBKP.
Sampai tahun 1945, jumlah orang Kristen Karo mencapai 5.000 dengan 8 guru Injil dan 2 orang pendeta. Pada tahun 1965, dalam peringatan Yubelium 75 tahun GBKP di lapangan Gajah Mada Medan, anggota GBKP telah mencapai 35.000 orang dengan 5 orang pendeta. Pada tahun 1970 jumlah orang Kristen Karo mencapai 78.500 orang, mengalami kenaikan 100% sebagai dampak dari peristiwa G-30 S. Kini GBKP telah memiliki ± 275.000 anggota yang tersebar di seluruh Indonesia dengan ± 476 runggun dan 250 pendeta.
Semua data historis yang dicantumkan di atas ingin menunjukkan bagaimana perbuatan dan karya Tuhan yang besar bagi masyarakat Karo. Angin meter, udan meder, hutan, bukit, gunung, masa penjajahan tidak mengambat karya keselamatan Allah untuk sampai kepada orang Karo. Sampai hari ini tema perayaan Jubileum 100 Tahun kedatangan Injil ke Tanah Karo pada tahun 1990, “Ini aku, utuslah aku” (Yesaya 6:8) menjadi motto dan nilai yang dipegang serta dihidupi oleh GBKP dalam menjalankan perannya sebagai bagian dari misi Allah (Missio Dei) di dunia ini. Gereja (GBKP) ada karena adanya misi Allah. Allah adalah Allah yang missioner. Oleh karena itu, GBKP perlu senantiasa bertanya dan bergumul ke dunia seperti apa aku diutus? Tantangan dan perubahan yang dihadapi juga semakin kompleks. GBKP kini berhadapan dengan postmodernisme, globalisasi, kapitalisme, aliran neo kharismatik, masalah lingkungan, HIV AIDS, dan lain-lain. Situasi dan realita ini membuat GBKP harus berefleksi dan merumuskan kembali misinya  dengan tetap setia mengambil bagian dalam Missio Dei (Misi Allah).
Sumber:
David J Bosch, Transformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006
Sempa Sitepu, Kehadiran Injil Kerajaan Allah Membaharui Adat/ Budaya dan Kehidupan Suku-Karo Indonesia, Expo Sentana, Medan, 2000
Pt. Em. Kuasa Bukit, Biografi Nini Bulang Jaksa Tua: Kedatangan Injil ke Buluh Awar, CV, Ridho Tarigan, 2005

1 komentar: